14 Des 2016

Critical Eleven - Sebelas Menit Yang Bikin Jatuh Cinta



Menit itu aku bertemu dia.

Dia sedang serius menunduk membaca buku waktu aku tiba di sisi tempat duduknya.—hal.7


***
Blurb Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistic delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka. Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci pada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
*** 

Saya bertemu secara “tidak sengaja” dengan Anya dan Ale di buku Antologi Autumn Once More yang saya beli bertepatan dengan tanggal cantik, 11 Desember 2013 lalu. Saya ingat betul, pada saat itu, saya sedang mengalami random mood, sehingga harus mencari pelarian—buku. Ketika saya melihat nama Ika Natassa di sampulnya yang merah merona itu, saya langsung meminang dan membawanya pulang.

Critical Eleven.


Saya kira, saya akan dihadapkan pada kehidupan banker—karena novel-novel penulis sebelumnya bercerita tentang bankir, eh, ternyata malah jauh dari kehidupan bankir, yang nggak kalah kerennya. 
Saya disuguhkan dengan cerita pendek yang bikin saya gemas. Kenapa? Karena Anya dikisahkan dalam perjalanan Jakarta-Sydney dengan seseorang di sebelahnya. Seseorang yang menyukai Jakarta, mulai dari macetnya, banjirnya, polusinya dan segepok masalah yang masih ada di dalamnya—Ale. 
Mereka terlibat obrolan seru. Sampai pada suatu titik, Anya kembali mengingat Ale, saat lelaki penghuni rig itu sudah tidak duduk di sampingnya.

Gemas nggak sih?

Saya berasa naik pesawat dengan take off paling mulus, dengan tempat duduk paling nyaman, lalu saya dihempaskan kembali ke tanah, dengan keras sehingga membuat saya berpengangan pada kursi saking takutnya kehilangan momen menyenangkan tadi.

Nggak rela! Anya-Ale udahan gitu aja.

Saat itu saya rasa harus ada lanjutan dari cerpen yang turut serta menyelamatkan saya dari random mood tersebut. It would be awesome jika penulis melanjutkan kisah Anya-Ale, dengan apapun yang terjadi di antara mereka.

Dua tahun tanpa kabar, saya pun terlena dengan cerita lain yang dikisahkan penulis. Kisah Alex-Beno dan si kecil Arga benar-benar mengesampingkan kisah Anya-Ale di pikiran saya. Ah, emang dasarnya penulis ini udah jago memainkan perasaan saya. Saya pun jatuh cinta dengan kisah-kisah yang penulis lahirkan ke dunia.

Setelah euforia kelahiran Arga pada novel sebelumnya—Twivortiare dan Twivortiare 2, penulis kembali menghadirkan kisah Anya-Ale. Ah, betapa saya ingin kembali menyelami kehidupan mereka setelah critical eleven yang mereka alami dua tahun lalu. Tapi, memang agak susah untuk segera kembali bertemu dengan Anya-Ale, karena saya tidak mendapat kesempatan untuk ikut pre order yang hanya berlangsung selama sebelas menit itu.

Kurang gila apa coba pre order buku tutup kuota hanya dalam sebelas menit? Saya gemas untuk yang kedua kalinya pada Critical Eleven.

***

“Memory isa great servant, but really bad monster.”—hal.20


Kisah Anya-Ale diawali dengan apik dan manis. Penulis membawa saya terbuai dengan ingatan-ingatan Anya saat bersama Ale. Makan di Ketoprak Ciragil hingga ciuman pertama mereka di mobil. Namun di balik ingatan manis itu, ternyata Anya menyimpan sebuah luka yang bahkan sampai saat ini masih menyakitkan kalau diingat. Luka itu disampaikan Anya dengan caranya menyebut nama lengkap Ale—Aldebaran Risjad pada setiap ia membongkar ingatannya.

Critical Eleven ini tidak melulu berkutat dengan kehidupan Anya-Ale. Penulis menjaga mood baca saya dengan cara menyisipkan karakter-karakter pendukung yang membuat saya mati penasaran.

Siapa lagi kalau bukan Harris Risjad!

Kehadiran Harris Risjad mampu membuat saya geleng kepala. Ada aja tingkahnya yang di luar dugaan. Seperti yang ia lakukan untuk membawa “kabur” Ale untuk bachelor party. Ia membuat seluruh keluarganya panik karena Ale terlambat bangun untuk acara akad nikah. Parahnya lagi, ia pulang dalam keadaan mabuk. Kalau kata Keara, “Harris ah!”

“Pesenin si Harris kopi yang banyak. Sama kasih aspirin, Sa. Mabok dia.”—Ale (hal. 293)


Tidak kalah serunya dengan Harris, ada Raisa dan Nino yang selalu menyelamatkan Ale dari bosannya masa libur di Jakarta. Seperti pada saat Raisa menitipkan Nino pada Ale. Mereka berdua terlihat asyik saat “jajan” di Kidzania.

“Om, boleh berapa?”—Nino
“Tiga aja, ya.”—Ale
“Asiiik!”—Nino(hal. 102)


Dan yang terakhir adalah Paul Hutagalung. Anak Medan itu memang Batak kali! Percakapan Paul dan Ale mengenai rancangan rumah Ale juga tidak kalah seru. Apalagi saat Ale mengatakan, “Muncung kau ya, Ul.” Saya sempat curiga, jangan-jangan Paul ini merupakan sahabat sekaligus rekan kerja River pada novel The Architecture of Love juga?

Eits, hampir lupa.
Ternyata penulis memberikan saya “kejutan” lagi dengan menghadirkan sosok dewa penolong Ale saat ia kejatuhan palang parkir hingga harus masuk rumah sakit.

“Eh, jangan, Abang lagi bobok, Ga.”—Hal. 281


“…Untung tadi yang ada di parkiran juga, dokter ternyata, sama istri dan anaknya, mereka yang langsung bawa Ale ke sini.”—Hal. 296


Om Bulu! *pingsan*

***

Dari keseluruhan adegan, ada 11 hal yang membuat saya ingin segera menikmati Critical Eleven dalam bentuk audio-visual di layar lebar. Kesebelas hal tersebut saya sebut dalam 11 Critical Situations That I Loved The Most. Mengapa saya menyebutnya Critical Situations? Karena pada saat membaca adegan-adegan tersebut, saya pelan-pelan meresapinya. Bahkan ada beberapa yang saya baca beruang-ulang. Kadang saya menahan haru, kadang nggak bisa menahan tawa, kadang juga saya dihinggapi rasa penaran.

11 Critical Situations That I Loved The Most bisa dilihat dalam gambar di bawah ini.

Penulis juga nggak tanggung-tanggung dalam menciptakan “anak” berupa kisah Anya dan Ale ini. Penulis bahkan mendesain sendiri covernya. Cover dengan gambar pesawat yang didominasi warna biru yang adem di mata ini, membuat siapa aja nggak malu untuk nenteng novel ini kemana-mana. Mau cewek atau cowok, hajar lah!

 


***

Buat saya, novel ini nggak hanya sekedar kisah rumah tangga Anya dan Ale yang diawali dari sebuah pertemuan di pesawat. Lebih dari itu, novel ini memberi saya banyak ilmu. Saya akui, riset penulis bener-bener jempolan. Segala informasi baru saya dapatkan di sela-sela kehidupan Anya dan Ale. Informasi mengenai ingatan, pemindahan ingatan dari amygdala ke hippocampus, KPI (Key Performance Indicator) hingga finish line saat berduka pada dunia psikologi.

Ada satu kutipan dari Ale yang menurut saya, harus dibaca oleh setiap laki-laki. Nggak hanya dibaca, tapi juga wajib diamalkan dalam kehidupan sehari-hari berasa Undang-Undang aja.

Sewaktu gue berani mengucapkan ijab Kabul, sejak itu pula gue sendiri yang harus berusaha sebisa yang gue mampu bahkan lebih untuk membuat dia bahagia, bagaimanapun caranya.—Ale, hal. 317


Terakhir, kisah Anya-Ale ini membuat saya sadar. Bahwa goals dari sebuah hubungan bukanlah sebuah pernikahan, melainkan bagaimana kita bisa mempertahankan pernikahan dan membahagiakan pasangan masing-masing hingga akhir hayat.

Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita.—Hal. 252


Selamat menikmati kisah Anya dan Ale!
Rate: 4/5

Love,


6 Comments:

  1. Karya Ika Natasha baru satu yg aku baca, yg antologi rasa. Seru ceritanya, tapi mungkin bahasa yang dipakai karakternya nggak terlalu sreg buat aku.
    ngebaca ini jadi pengen baca buku mbak Ika yang lain deh hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makin ke sini, buku-buku Mbak Ika Natassa emang makin keren mbak. Yang dari poll story The Architecture of Love juga nggak kalah keren mbak hehe :D

      Hapus
  2. Sy pernah lihat buku ini di gramed, wah jadi tahu isinya apa. Terimakasih review bukunya.

    BalasHapus
  3. Critical Eleven inii salah satuu novel favoritt saya mbak :D
    Udah lama banget baca novel ini, jadi kangen mau baca lagi. hehehe

    Thank you buat reviewnya yang ciamik :D

    Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita - Cocok buat penutup 2016 nih sesuai dengan kondisi hati #kokjadicurhat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi thankyou juga mbak udah mau mampir ke sini :)

      Hapus

Halo! Jangan lupa tinggalkan komentar, siapa tahu kita bisa diskusi bersama. Mohon tidak meninggalkan link hidup ya. Thankyou :)