Gundala Putra Petir - Abimana dan Kaus Hitamnya


Ada satu hal menarik (yang sekaligus membuat diri ini semakin oldschool), saya sama sekali nggak pernah nonton film superhero. Mulai dari heboh Captain America sampai film Avengers yang 3 jam lamanya, saya sama sekali nggak tahu menahu dan belum niat untuk nonton. Bahkan, (jujur-jujuran aja nih) antara Doctor Strange sama Good Doctor aja, saya nggak tahu mana yang masuk jajaran superhero *salim. Oh iya, dan ini nih yang selalu bikin teman-teman penggila superhero rada emosi karena sudah menjelaskan ke saya berulang kali tapi nggak ngerti-ngerti: bedanya Marvel sama DC! Demi cicilan motor yang dua bulan lagi lunas, sampai sekarang kedua rumah produksi (eh bener kan ya?) yang menaungi superhero kancah dunia tersebut blur di mata saya.

Alasan saya belum (atau malah nggak) tertarik sama film-film superhero tersebut hanya satu sih, terlalu njelimet dan pasti saling terkait satu sama lainnya dalam satu universe yang sama. Satu-satunya film yang universe-nya saya ikutin ya cuma Conjuring Universe. Meski sedikit kecewa saat film The Nun tayang, karena menurut saya rada ngehek jalan ceritanya.

Balik lagi ke film superhero yang tidak pernah menarik perhatian, kemarin saya berhasil menyeret diri untuk nonton Gundala. Lengkapnya Gundala Putra Petir. Jauh-jauh hari sebelum nonton, saya sudah melayangkan sumpah serapah, seperti:

"Ini mau niru film luar apa gimana?"

"Wagu nggak sih kalau ternyata hasilnya nanti maksain?"

Sampai akhirnya Ladies and Gentlemen, this is Arintya, yang sebelumnya menyangsikan film ini sedalam-dalamnya, tapi begitu masuk ke film dan melihat adegan buruh pabrik demo hingga seorang ibu yang menyusul suaminya ke tempat bekerja…


Scene "Bapak" - Tengah - Photo by Gundala Official on Abimana Instagram

CESSSS….AIR MATA TAK TERBENDUNG LAGI.

Ingatan ini (halah) langsung throwback ke zaman kecil dulu. Di mana kedua orang tua saya adalah pekerja di pabrik dan salah satunya pernah didemo. Tangis saya makin hore dan perasaan makin ambyar setelah adegan anak kecil pulang sekolah, mencari bapak ibunya tapi tidak ada, terjebak di rumah karena di luar sedang hujan. 

Inilah momen pertama yang pelan-pelan mengikis rasa tidak percaya saya sama film superhero, lokal pula.

Sejak momen mbrebes mili yang makin menjadi, ternyata ada banyak hal yang membuat film ini berhasil menarik hati seseorang yang sebelumnya nggak nafsu menonton film superhero ini. 

Pertama, banyak masalah sosial yang dihadirkan

Menghadirkan masalah sosial dalam sebuah film memang sering dilakukan. Namun yang saya saksikan kemarin di film Gundala adalah, masalah sosial nggak nanggung-nanggung disajikan. Dari masalah yang sederhana sampai yang nyerempet anggota dewan di atas sana. Apakah ini faktor risetnya yang oke atau memang agar cocok dengan slogan Gundala yang "Negara ini butuh patriot! tapi berhasil bikin saya bergumam:

Mati kau dikoyak masalah sosial yang nggak berkesudahan! Saking (hampir) mirip dengan apa yang banyak terjadi sekarang.

Kedua, seni dan budaya yang disisipkan bikin saya merinding!

Nggak bermaksud spoiler, tapi di film ini kamu akan disuguhkan beberapa seni dan budaya dan ciri khas yang “Indonesia banget!”. Misalnya seni beladiri dengan topeng yang so creepy. Fix, saya jadi makin was-was pas mau lewat rel kereta api di malam hari. Fix saya butuh pacar! Dan yang bikin saya wow adalah adanya penggunaan bahasa Jawa (yang kemungkinan Jawa Kawi) karena terdengar ancient sekali. 

Dan yang ketiga, ini sih yang bikin saya mengubah cita-cita seconds after saw this movie: hadirnya Abimana sebagai Sancaka!

Terakhir kali saya menonton akting Abimana adalah saat di film 99 Cahaya di Langit Eropa. Aduh aduh, adegan yang paling membuat saya adem hati dan kepala adalah ketika dia solat dan memeluk istrinya (yang diperankan Acha). Padahal saat itu Acha Septriasa yang dipeluk, tapi kok saya yang nyaman :(

Gif by Giphy
Di film Gundala, tahulah Abimana memerankan siapa. Di sini saya nggak akan membahas sisi akting Abimana. Wong ya saya bukan anak teater apalagi ngerti seluk beluk film. Namun saya akan membahas bagaimana Abimana sebagai Gundala berhasil mengubah cita-cita saya. Beberapa detik setelah kelar menonton film ini, saya, Arintya, mengubah cita-cita saya dari bisa membeli motor secara cash menjadi kaus hitam. Iya, saya ingin jadi kaus hitam supaya bisa everyday everytime di sisi Sancaka yang kelihatan hanya punya satu warna di lemarinya T.T

Photo by Gundala Official on Instagram

Dari tadi muji terus, memang nggak ada cacatnya?

Oh tenang, bagian menggerutu karena kesal dengan beberapa bagian di film ini bahkan sudah saya lakukan waktu di bioskop. Apalagi saat Desti (yang diperankan oleh Asmara Abigail) berlaga. Mohon maaf sekali, tapi saya kok terganggu ya dengan gaya bertarung Desti ini. Banyak banget teriaknya daripada mukul atau nendangnya. Mungkin satu pukulan selalu diiringi tiga teriakan :( Apakah ini karena memang karakter psikopatnya?

Dari kacamata orang yang nggak ngerti soal film tapi menikmati jalan ceritanya…

…film Gundala ini cukup oke lho. Bahkan saya yang awalnya ogah nimbrung di dunia superheroan, jadi makin penasaran kira-kira gimana kelanjutan dari serial Bumilangit ini. 

Terakhir, ada beberapa quotes yang asyu  ngena banget, karena singkat, padat tapi nampar :)

Kamu siapa?

Rakyat.

dan

Satu hal yang tidak dapat bertahan lama, perdamaian.

Sekian review film dari seseorang yang nggak ngerti film. Sekarang, selain meneruskan cita-cita saya menjadi kaus hitam, saya ingin mencari keberadaan pemeran Sancaka. Lha gimana, soalnya dari dulu orang-orang pada nanyain gini:

A: Abimana Abimana!

B: Ha? Abi-mana?

A: Iya, Abimana!








Feature image by Gundala Official

1 Comments:

Halo! Thank you udah baca tulisan ini sampai habis. Any comments?