Ada satu hal menarik (yang sekaligus membuat diri ini semakin oldschool), saya sama sekali nggak pernah nonton film superhero. Mulai dari heboh Captain America sampai film Avengers yang 3 jam lamanya, saya sama sekali nggak tahu menahu dan belum niat untuk nonton. Bahkan, (jujur-jujuran aja nih) antara Doctor Strange sama Good Doctor aja, saya nggak tahu mana yang masuk jajaran superhero *salim. Oh iya, dan ini nih yang selalu bikin teman-teman penggila superhero rada emosi karena sudah menjelaskan ke saya berulang kali tapi nggak ngerti-ngerti: bedanya Marvel sama DC! Demi cicilan motor yang dua bulan lagi lunas, sampai sekarang kedua rumah produksi (eh bener kan ya?) yang menaungi superhero kancah dunia tersebut blur di mata saya.
Di umur seperempat
abad, memang ada-ada aja hal ajaib yang datang. Kali ini bukan soal quarter
life crisis yang sering dialami ketika umur 25-an, tapi tentang keputusan
paling impulsif sejagad raya tapi berhasil membuat saya puas dan berkali-kali
bilang, “Wow, you are brave enough!”
Sebenarnya udah
berhari-hari yang lalu saya menonton film Dua Garis Biru, tapi sampai sekarang
ada kurang kalau pengalaman nonton film ini mangkrak di ingatan. Ada rasa
bersalah (hahaha) kalau nggak saya tuliskan di blog dan berbagi dengan kalian.
Sebelumnya mon
maaf dulu nih ya. Ini bukan review yang akan membahas soal
kesutradaraan, sinematik ala-ala atau apalah you name it. Tulisan ini hanya
berbagi pengalaman dan bukti kalau film Dua Garis Biru segitu dahsyatnya buat
saya.
Mau punya pacar, udah menikah, atau memang memilih untuk sendiri, saya yakin kalau setiap orang itu punya sisi single fighter-nya masing-masing...
Sebagai omnireader atau pembaca buku segala genre, akhir-akhir ini saya agak kesulitan nih menemukan bacaan yang greget tapi juga kaya akan unsur budaya. Apalagi untuk novel karya penulis lokal yang menurut saya kebanyakan mengangkat tema hypebeast dan gemerlapnya ibukota. Kalau nggak salah, terakhir kali saya menuntaskan novel bertema travel love tapi kaya akan budaya adalah novel Toraja karya Endang SSN lima tahun lalu. Reviewnya bisa kamu baca di sini ya!
Buat yang belum tahu, sambat artinya mengeluh.
Istilah "sambat" akhir-akhir ini hits banget di media sosial. Lebih tepatnya sih sejak akun @nantikitasambattentanghariini (hem, kedawan!)* lahir dan menjadi antitesis dari akun sejenis, yaitu @NKCTHI.